Kamis, 27 September 2012

PERANG SALIB (Bagian Dua)

Oleh: Syamsuddin Al-Munawiy
C.    TAHAP-TAHAP PERANG SALIB
Tidak ada pembagian yang pasti tentang tahap dan periode  perang salib. Para sejarawan berbeda pendapat tentang klasifikasi penahapan perang yang terjadi selama dua abad tersebut. Menurut K.Hitti tiga  tahap  , menurut James Reston,Jr. lima kali,  menurut al-Shalabiy tujuh kali,   Sedangkan menurut Sa’ad Abd al- fattah ‘Asyur dan Sami bin Abdullah al-Maghluts  ada delapan tahap, . Penyebab adanya perbedaan dalam menentukan tahap perang salib ini karena perang berlangsung terus-menerus tanpa henti. Philip K. Hitti mengatakan: “Hal itu karena peperangan terus terjadi, dan tidak ada batas yang jelas antara perang yang satu dengan perang berikutnya ”. Namun pembagian yang paling logis menurt K.Hitti adalah bahwa perang salib terbagi tiga tahapan. 

    1.PERIODE PENAKLUKAN

    a. Perang Salib Rakyat
Mayoritas Sejarawan mencatat, Perang Salib I meletus pada tahun 1097 M. Namun demikian, sebenarnya genderang perang telah ditabuh semenjak Paus Urbanus II menyampaikan pidatonya pada tahun 1095. Bahkan pada tahun itu  peristiwa penyerangan oleh orang-orang salib telah dimulai. Penyerangan ini oleh al-Malghuts disebut dengan nama perang  Salib Rakyat.

Perang ini terjadi sebelum Perang Salib Militer (Perang Salib I), tetapi perang ini dianggap sebagai bagian dari perang Salib I. Perang Salib Rakyat berlangsung selama sekitar enam bulan sejak april hingga oktober 1096.   Perang ini juga dikenal dengan nama ‘’Perang Budak’’. Di dalamnya ikut andil beberapa uskup yang turut hadir dalam konsili Clermot pada tahun 1095 M.  Pasukan yang terdiri dari rakyat jelata ini rupanya tidak cukup sabar menunggu waktu yang sudah ditetapkan Paus untuk memulai peperangan.Paus sendiri tidak mampu menghentikan gerakan pasukan yang mulai bergerak maju. Seruannya untuk menunda keberangkatan pasukan tidak digubris sama sekali oleh mereka. Bahkan, setelah Paus Urbanus mengeluarkan beberapa maklumat untuk mencegah keberangkatan mereka. Pasukan sipil itu terus bergerak maju dengan kereta-kereta penuh muatan yang ditarik dengan banteng. Mereka terus bergerak hingga akhirnya sampai di Koln (Cologne) pada tanggal 15 Rabiul Akhir 489 H/ 12 April 1096.

Ketika pasukan Salib mencapai Konstantinopel, Kaisar Alexius I Comnesus menyadari bahwa dia harus melindungi pasukan yang baru tiba tersebut. Lantas dia pun membantu pergerakan pasukan Salib ke arah Asia Kecil. Dalam beberapa pertempran lokal, pasukan ini berhasil mengalahkan dinasti Seljuk. Hal ini membuat mereka silau akan kekuatan mereka yang amat besar. Mereka pun terus  merangsek  melakukan penyerangan ke kawasan-kawasan yang dikuasai Dinasti Seljuk (Turki Seljuk). Pada saat itu pasukan Salib yang terdiri dari 25.000 prajurit kavaleri belum termasuk ribuan prajurit invanteri, memanfaatkaan kepergian Peter yang sedang menghadap Kaisar dengan memutuskan untuk menyerang Nicea.  Pasukan Salib akhirnya berhadapan dengan Pasukan Islam Dinasti Seljuk pada tahun 489 H/1096. Pasukan Salib Turki berhasil menghancurkan mereka hampir secara keseluruhan dan hanya menyisakan sekitar 3000 orang.  Demikianlah Perang Salib Rakyat yang dipimpin  oleh Peter the Hermit dan Walter Sans Avoir. Mereka mereguk kegagalan total sebagaimana beberapa serangan salib selanjutnya. Rangkaian peperangan rakyat ini seakan-akan menjadi pembuka bagi dilancarkannya Perang Salib Militer yang dipimpin langsung oleh raja-raja dan para penguasa Eropa  pada masa selanjutnya.

b.  Perang Salib I

Pada tahun 1097 M , sebanyak 150.000  orang sebagian besar dari Jerman  dan Normandia,dikerahkan dalam tiga  angkatan di bawah pimpinan Raja Godfrei , Raja Bahemond, dan Raja Raymond. Mereka bertemu di Konstantinopel.   Ketika pertempuran mencapai gerbang kota Konstantinopel, Kaisar Byzantium pun takut jika perang tersebut masuk kota. Saat itu juga Kaisar Alexius I Comnesus melakukan kesepakatan dengan sebagian panglima pasukan  Salib untuk memasok kebutuhan bahan pangan dan perbekalan dengan syarat mereka tidak boleh memasuki kota Konstantinopel dan harus mengembalikan semua hak milik penduduk yang sudah mereka rampas.

Pada permulaan 1097 pasukan Salib  bergerak melintasi selat Selat Borforus bagaikan air bah. Mereka berkemah di Asia Kecil yang ketika itu dikuasai oleh Dinasti Saljuq , qalej Arselan. Mula-mual mereka mengepung pelabuhan Nicea selama sebulan sampai jatuh ke tangan tentara Salib pada tanggal 18 juli 1097 M.Ini berarti Byzantium telah merebut kembali apa yang telah lepas dari Antioch selama enam tahun. Tentara Bizantium  , dibawah pimpinan Emperor, mengadakan perundingan dengan penguasa kaum Muslimin seputar penyerahan kota itu kepadanya, dengan jaminan Muslim Turki akan diselamatkan  Hal ini mengejutkan tentara Salib karena merasa kalah cepat oleh kelihaian Emperor.

Tentara Salib terus maju . Pertempuaran di Darylaeum (Eski-Shar) meluas ke tetangga Nicea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan demi kemenangan, karena Saljuq dalam keadaan lemah. Mereka berhasil memasuki selatan Anatolia dan provinsi Torres. Di Bawah pimpinan Baldwin, mereka mengepung Ruha (Edesa) yang penduduk Armenianya beragama Kristen. Rajanya, Turus telah melantik Baldwin untuk menggantikannya setelah ia mati  sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha pada tahun 1098.

Detasmen yang lain di bawah pimpinan orang Norman , yaitu Tancred dari Italia Utara dikirim ke arah yang berlawanan, ke Sisilia. Penduduk kota ini hampir sama dengan Armenia, memiliki campuran darah Yunani. Di sinilah ia berhasil menduduki Tarsus , tempat kelahiran Santo Paulus.  Pada saat yang bersamaan, pasukan utama Perang Salib  berhasil mencapai daratan Antokia (Antakya) pada tanggal 21 Oktober 1097 M/ 491 H. Pasukan dengan kekuatan empat ribu prajurit tersebut dipimpin oleh Bohemond. Setelah melalui pengepungan yang berlangsung sejak bulan oktober 1097 sampai bulan Juni 1098 kota terbesar di Suria tersebut jatuh ke tangan Bohemond, karena penghianatan orang Armenia yang memimpin salah satu menara pertahanan. Dalam peristiwa itu, pasukan Salib membunuh tak kurang dari 10.000 orang . Bahkan mereka melakukan mutilasi terhadap mayat korban dan melakukan perbuatan keji lainnya.

Dari kota itu, Pasukan Salib (dipimpin oleh Raymond) lalu bergerak lagi ke arah Baitul Maqdis. Pergerakan Pasukan Salib itu langsung disambut pedang oleh Karbuqa penguasa Mosul, Duqqaaq penguasa Damaskus, dan Janahadullah penguasa Hims. Akan tetapi pasukan Salib berhasil mengalahkan pasukan ketiga tokoh tersebut dan merekapun kemudian memasuki kota Ma’arrat an-Nu’man.   Setelah menduduki Ma’arrat an-Nu’man, dikenal sebagai tempat kelahiran Abu Al-‘Al- tentara Raymond meninggalkan  kota (13 Januari 1099) setelah membunuh 10.000 penduduknya dan membumihanguskan kota itu.

Setelah menaklukan kota-kota yang dilewati (Ruha/ Edesa, Tarsus, Antiokia/ antakya, Aleppo, Tripoli dsb), Pada tahun 492 H (1099), pasukan Salib berhasil memasuki kota Baitul Maqdis ( al-Quds). Penaklukan Baitul Maqdis oleh tentara Salib diwarnai oleh pembantaian dan penjarahan. Ibnu Atsir mencatat, Selama tiga hari mereka membantai 70.000 orang  yang terdiri atas imam, ulama, ubbad (ahli ibadah) dan para  zuhhad (ahli zuhud). Bahkan  darah menggenangi jalan-jalan yang dilewati oleh kuda-kuda mereka. Mereka juga menjarah 40 kendi perak, dimana 1 kendi seberat 360.000 dirham. Mereka juga mengambil tanwur dari perak seberat 40 rtl syamiy, ...

Akhirnya misi tentara Salib tercapai, yaitu merebut Baitul Maqdis dan berhasil mendirikan pemerintahan masing-masing: Baldwin memegang tampuk kekuasaan di Ruha/Edesa (1098), Bohemond menguasai pemerintahan di Antiokia/Antakya/ Antioch, dan Goldfrei menguasai pemerintahan di Yerussalem (Baitul Maqdis).

c.  Faktor Kekalahan Kaum Muslimin
Apa yang dialamai oleh kaum Muslimin berupa kekalahan dan ketidak berdayaan mereka menghadapi serangan Pasukan Salib disebabkan oleh kerusakan tatanan kehidupan kaum Muslimin saat itu. Hal ini direkam dengan jelas oleh al-Kilani,beliau mengatakan:
Kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kaum Muslimin dalam perang melawan kaum Salib (Periode Penaklukan)  merupakan salah satu dampak negatif dari apa yang berkembang dalam masyarakat Muslim sendiri, seperti  pemikiran, kecenderungan, nilai dan tradisi. Hal ini karena setiap realitas politik, sosial dan ekonomi adalah episode terakhir dari perilaku yang berawal dari perasaan , lalu akal pikiran, dan berakhir pada organ tubuh yang berada  di luar batas jiwa atau tepatnya pada seluruh aspek kehidupan, seperti politik , militer sosial dan ekonomi. Hal ini  sesuai pula dengan keterangan al-Qur’an ketika menyatakan bahwa segala bentuk krisis yang dialamai oleh suatu masyarakat berawal dari muatan-muatan yang ada pada diri mereka sendiri yang mencakup aqidah keyakinan  (aqidah), nilai, tradisi, kebiasaan yang menjadi acuan sistem, praktik dan realistas masyarakat tersebut. Allah Ta’ala berfirman dalam surah al-Anfal ayat 53:  (Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Selanjutnya Al-Kilaniy menggambarkan peta pemikiran yang berkembang dalam masyarakat Muslim menjelang serangan kaum Salib.  Menurut beliau ada beberapa karakter negatif yang menjadi corak pemikiran yang berkembang saat itu, diantaranya: (1), Perpecahan pemikiran Islam dan perselisihan antar madzhab. (2), Perpecahan dan penyimpanag tasawuf, (3), Ancaman pemikiran pemikiran kebatinan. (4), Ancaman filsafat dan para Filosof. 
Masih menurut al-Kilani, Berbagai karakter negatif  yang disebutkan di atas kemudian berimbas pada rusaknya tatanan kehidupan masyarakat Muslim pada masa itu. Al-Kilani mengatakan: “ Dampak kegalauan pemikiran dan formalitas keagamaan yang dialamin oleh masyarakat Muslim pada periode pra invasi tentara Salib Eropa sangat berpengauh terhadap struktur sosial –kemasyarakatan, prinsip dan nilai-nilai yang mendasari hubungan antar individu mapun masyarakat dan menjadi acuan perilaku dan seluruh aktivitas  mereka”. Al Kilani melanjutkan, “pengaruh-pengaruh negatif terasa begitu kental dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kemiliteran. Bidang-bidang tersebut hancur, fundamen internal masyarakat rapuh dan daya tehannya lemah serta rentan terhadap segala macam krisis dan keterpurukan”.
Lebih lanjut al-Kilani menguraikan fenomena-fenomena keterpurukan secara terperinci:

1.    Kerusakan di Bidang Ekonomi.

Kerusakan ekonomi yang dimaksud bukan kelangkaan sumber daya alam, bukan pula ketidak adaan aktivitas produksi. Tetapi kerusakan yang dimaksud adalah rusaknya persepsi tentang cara mempeoleh dan membelanjakan harta. Al-Kilaniy mengutip dari Ibnu Kastir,
‘Pada masa itu kekayaan diperoleh melalui prosedur yang tidak benar. Negara menerapkan berbagai macam pajak dan pemerasan. Orang-orang yang ingin menjalankan ibadah haji pun tak luput dari kewajiban membayar pajaka kepada setiap penguasa wilayah yang mereka lalui, seperti pada kasus penguasa Kerajaan Fathimiyah yang memungut pajak dari calon-calon haji yang berasal dari kawasan Maghrib ketika melewati Mesir, “Jika ada yang tidak sanggup membayar maka ia akan ditahan dan bisa jadi tidak sempat wuquf di ‘Arafah’.
Sementara, pada saat yang sama kalangan pejabat pemerintah sibuk memperkaya diri sendiri. Al-Kilani mengtip penuturan Ibnu Khalikan  tentang besarnya kekayaan yang diwariskan oleh seorang mentri kerajaan Syi’ah Fathimiyah, Badr al Jamali ketika meninggal pada tahun 515 H: “Kekayaan yang ia tinggalkan berupa 600.000.000 keping uang emas (dinar), 250 peti uang perak (dirham), 75.000 helai pakaian terbuat dari kain satin halus , emas Iraq batangan sebanyak 30 kendaraan, sebuah guci emas berisi permata seharga 12.000 dinar. ....”.

2.    Kerusakan Bidang Sosial
Kehidupan sosial pada masa itu diwarnai oleh kerusuhan dan kekacauan. Gerombolan pengacau dan perampok sering melakukan  aksi di jantung kota Baghdad. Mereka tidak segan-segan menguasai beberapa kawasan dan melawan aparat kerajaan. Sering pula terjadi bentrokan antara masyarakat umum dengan pelayan-pelayan  khalifah  yang beretnik Turki. 
Ibnu Atsir menuturkan,
 Kerusuhan antar warga juga sering sekali terjadi. Pada tahun 470 H (19 tahun pra perang salib-red-) sejumlah orang terbunuh dan banyak rumah yang dibakar. Masyarakat berramai-ramai keluar sambil mengangkat tongkat, mereka menyerang mentri yang sedang bersantai di kamarnya seraya melontakan kata-kata kasar... sering sekali terjadi penjarahan, pembunuhan dan perusakan yang sangat merugikan”. 

3.    Perpecahan Politik.
Sejak Sultan Maliksyah wafat tahun 486 H/1092 M kekuasaan Bani saljuk mulai pecah karena terjadi pertentangan antara putera-puteranya. Dalam masa lima tahun, kerajaan pecah menjadi lima kesultanan yang terus bersaing, yaitu: Kesultanan Persia yang dipimpin oleh Barqiyaruq yang juga menguasai Baghdad, Kerajaan Khurasan dan wilayah seberang sungai yang dipimpin oleh Sinjar, Kerajaan Halab yang dipimpin oleh Ridwan bin Tatsy, Kerajaan Damaskus yang dipimpin oleh Daqqaq bin Tatsy dan Kesultanan Saljuq Romawi yang oleh Qalaj bin Arsalan. Pada tahun 1104 M kesultanan Persia pecah menjadi dua bagian kecil.
Pada masa yang sama terjadi perpecahan di kawasan Syam dan muncul kelomopok-kelompok penguasa kecil yang dikenal dengan Atabikiyat seperti Atabik Damaskus dan Atabik Mosul. Beberapa Atabikiyat memiliki wilayah kekuasaan yang sangat kecil yaitu hanya meliputi satu kota atau abhakan satu benteng saja.

2. PERIODE KEBANGKITAN UMMAT ISLAM
 Jatuhnya Baitul Maqdis ke tangan tentara Salib ternyata membangkitkan kesadaran kaum Muslimin untuk bangkit melakukan perlawanan.  Atas upaya keras para ulama untuk mengobarkan semangat jihad di dalam hati Ummat Islam, akhirnya muncullah gerakan perlawanan pertama dari kaum Muslimin. Gerakan jihad ini dipimpin langsung oleh para Ulama. Tokoh pertama di seluruh dunia yang menyambut seruan tersebut adalah penguasa Mosul. Pada saat itu kota Mosul dipimpin oleh seorang Muslim Turki yang bernama Maudud. Seruannya untuk berjihad langsung disambut begitu banyak orang . Tidak lama kemudian, Maudud sudah memimpin pasukan menuju Ruha dan langsung menaklukannya. Diantara tawanan yang berhasil mereka tangkap adalah orang-orang Armenia yang membantu musuh. Dengan penaklukan kota Ruha itu, ummat Islam pun kembali memilki harapan baru.

a.    Perlawanan al-Maudud (501-507 H/1108-113 M)

Pada tahun 507 H/1113 M  beberapa kelompok umat Islam berdatangan kepada Maudud. Penguasa Mosul itu pun menjadikan mereka sebagai satuan pasukan perang yang kemudian dia kerahkan menuju al-Quds. Di sisi lain, orang Kristen yang mengetahui gerakan tersebut langsung menyadari bahayanya.  Dengan satuan pasukan  kecil dan tidak teratur rapi, Maudud harus menghadapi sejumlah besar pasukan Kristen yang memilki persenjatan luar  biasa. Kedua kekuatan  tidak berimbang itupun kemudian bertempur dalam sebuah peperangan yang berakhir imbang. Pada saat itu Maudud menyadari bahwa dia harus memperbaiki kondisi pasukannya. Diapun memutuskan untuk kembali ke Damaskus yang masih termasuk wilayah kekuasaannya. Namun ketika berada di Damaskus, pada hari Jumat saat Maudud mendatangi Masjid Umawi, tiba-tiba seorang anggota Hasyasyiyun(kelompok aliran Bathiniyan sesat)  membunuhnya dengan cara yang licik.   Beliau wafat sebelum mewujudkan impiaanya merebut Baitul Maqdis.

 Walaupun demikian perlawanan yang dipimpin oleh penguasa Mosul bergelar Syarafuddaulah ini telah menjadi cikal bakal kebangkitan Dunia Islam untuk melakukan perlawanan terhadap Pasukan Salib. Perlawanan Maudud, meskipun dalam waktu yang singkat (501 H-507 H) tetapi dapat dianggap sebagai titik tolak sejarah perlawanan Ummat Islam menghadapi Pasukan Salib . Fikrah dan semangat jihad sesungguhnya mulai wujud. Sejak itu,  para pejuang yang dengan ikhlas siap mengibarkan panji-panji jihad mulai bermunculan ..” . Bahkan Syaikh al-Shalabiy menganggap perlawanan al-Maudud sebagai cikal bakal perlawanan yang dilakukan oleh Imaduddin Zanki.

 Sebagian sejarawan menganggap, Imaduddin Zankilah yang menjadi peletak dasar jihad melawan tentara Salib dan pembebasan Baitul Maqdis. Akan tetapi hal ini tidak terlalu penting untuk dipertentangkan. Sebab masing-masing dari kedua pahlawan Islam ini telah berjuang dan berkontribusi untuk membebaskan Negri Islam dari penjajahan pasukan Salib. Al-Shalabiy mengatakan, “. . . Cukuplah sebagai sebuah prestasi yang membanggakan bagi al-Maudud ketika beliau berhasil menghilangkan eksistensi tentara Salib di daerah al-Jalil, sebuah wilayah yang tidak dijangkau oleh pasukan Islam selama hampir dua dekade. Cukuplah pula sebagai capaian yang menggembirakan ketika al-Maudud berhasil menggentarkan pendiri kerajaan Salib di Baitul Maqdis. Oleh hakeran itu,kata Al-Shalabiy kita dapat menarik satu benang merah bahwa kepemimpinan Jihad merupakan mata rantai yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Tidak ada pertentangan –apatah lagi permusuhan- diantara mereka. Apa yang telah dirintis dan dilakukan oleh al-Maudud sangat bermanfaat bagi para pejuang sepeninggal beliau”. 

b.    Perlawanan Oleh Imaduddin Zanki (522-541 H/   -1147 M)
 Sepeninggal Maudud perlawanan mengusir tentara salib terus berlanjut, bahkan semakin besar. Pada awal tahun 522 H perlawanan yang dipimpin oleh Imaduddin Zanki dimulai. Panglima Turki ini memulai langkahnya dari kota Aleppo (Halab) kota terpenting di kawasan utara Syam, tepatnya pada tanggal 1 Muharram 522 H (1128 M) atau beberapa bulan setelah dia dilantik menjadi penguasa Mosul. Setelah melakukan pengepungan selama berbulan-bulan akhirnya para Mujahidin dibawah kepemimpinan Imaduddin Zanki berhasil menaklukan kota yang terletak di kawasan utara Syam tersebut.

Setelah berhasil merebut Aleppo Imaduddin Zanki juga berhasil menaklukkan kota Hamah pada tahun berikutnya (523H). Tidak berhenti sampai di sana, Imanuddin Zanki lalu menaklukan kota Sarja, Dara, dan Benteng al-Atsarib yang sebelumnya berada di tangan pasukan Salib.  Setelah serangkaian penaklukan tersebut, Imaduddin disibukkan dengan konflik yang amat tajam antara Khalifah al-Mustarsyid Billah dan Sultan Mas’ud yang terus berlangsung selama bertahun-tahun.  Setelah konflikik mereda, Imaduddin kembali mengejar tujuannya yang luhur. Beberepa benteng berhasil dia taklukkan seperti Benteng al-Akrad, al-Hamidiyah, al-Harakiyah, dan Benteng Tyre. Perjuagan Imanuddi  terus berlanjut sampai akhirnya dia berhasil menalukan Diyarbakir dan daerah al-Jibal pada tahun 528.

 Setelah berjuang sekian lama, Imaduddin Zanki berhasil menaklukan sebagian besar kawasan Syam, selain beberapa kawasan yang masih berada di tangan pasukan Salib dan kota Damaskus yang menjadi jantung Syam. Pada tahun 529 Imaduddin berusaha merebut Damaskus, tetapi usahanya itu belum berhasil dan damaskus tetap berada di luar kekuasaanya. Atas kegagalan itum Imanuddin terus berpikir untuk mencari cara  menaklukan kota tersebut.

 Pada tahap selanjutnya, tepatnya tahun 539 H Imaduddin Zanki berhasil membebaskan kota ar Ruha.Dalam upaya membebaskan kota Ruha tersebut Imaduddin melakukan banyak hal . Salahsatu diantaranya adalah mengobarkan semangat jihad kepada Ummat Islam.Keberhasilan Imaduddin merebut kota Ruha menjadi prestasi palin gemilang dalam perlawanannya terhadap pihak salib selama masa pemerintahannya. Direbutnya kota ini menjadi titik tolak direbutnya kembali kota-kota yang lain.

Pada saat yang sama pasukan Salib terus berusaha untuk memikirkan cara untuk menyingkirkan Imaduddin Zanki. Untuk mencapai maksud tersebut, mereka memanfaatkan kelompok sesat  Bathiniyah. Pada tanggal 6 Rabi’ul akhir tahun 541 H, ketika Imanuddin Zanki sedang mengepng Benteng Ja’bar di dekat Sungai Eufrat sekelompok anggota aliran Bathiniyah melakukan kesepakatan dengan pasukan salib. Setelah anggota aliran itu sepakat dengan pihak salib mengenai upah atas pembunuhan Imanuddin, merekapun langusng melakukan infiltrasi ke dalam perkemahan pasukan Imaduddin Zanki . Setelah berhasil melewati beberapa penjaga, para pembunuh itu berhasil masuk ke dalam kemah Imaduddin Zanki yang sedang tidur dan merekapun langsung membunuhnya. 

c.     Perlawanan Oleh Nuruddin Mahmud  Zanki (541 -569 H/1147-1173 M)

 Sepeninggal Imanuddin Zanki perjuangan kaum Muslimin dilanjutkan oleh putranya Nuruddin  Mahmud Zanki. Ia lalu memindahkan pusat pemerintahan keamiran Atabek dipimpinnya di Aleppo. Pada awal pemerintahan Nuruddin ini, ekspedisi militer tentara Salib angakatan kedua dipimpin oleh Raja Louis VII dari Prancis dan Raja Conrad III dari Jerman diberangkatkan. Pada waktu itu Raja Konstantinopel sudah tidak percaya lagi kepada tentara Salib sehingga keberangkatan ekspedisi kedua ini pun tanpa restu sang Kaisar. 

Pada tahun 1147 M terjadi pertempuran antara tentara Salib dan tentara Islam pimpinan Nuruudin Zanki di Damaskus, dengan kemenangan di tangan kaum Muslimin sekaligus telah menyelamatkan Damaskus dari cengkeraman pihak lawan.  Kesuksesan kaum Muslimin merebut Damaskus dari tentara Salib merupakan buaha dari strategi jitu yang ditempuh oleh Nuruddin. Pada tahun itu pula, sebelum pertemuran dengan pasukan Salib Nuruddin  telah melakukan perjanjian dengan penguasa Damaskus, Mu’inuddin Umar. Bahakan Nuruddin menikahi putri Mu’inuddin. Ketika Mu’inuddin menyadari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pasukan Salib, sedangkan dia sudah terikat dengan perjanjian, Mu’inuddin pun menyadari bahwa Nuruddin satu-satunya pihak yang dapat dimintai bantuan. Akhirnya kedua tokoh itu sama-sama mengerahkan pasukan hingga mereka berhasil menguasai Bushra dan Sharkhad di sebelah selatan Syria sebelum mereka benar-benar berhadapan dengan pasuka Salib. Nuruddin lalu meninggalkan Damaskus agar para penguasa Damaskus dapat merasa aman dari pasukan Salib. Namun, di dalam pikirannya, Nuruddin tidak berhenti berupaya menumpas Pasukan salib . Nuruddin lalu bergerak bersama pasukannya menju Antakya, dan berhasil menguasai Artah, Kafr Lasta, Basharfut, dan beberapa daerah lainnya.  

 Pada tahun 542 H /1147 M perang Salib II telah mencapai kawasan Syam dibawah pimpinan Louis VII dan Conrad III. Akan tetapi pasukan Salib gagal mencapai tujuan mereka. Atas kuasa Allah mereka terpaksa mundur. Hal ini terjadi juga disebabkan oleh ketabahan para Mujahidin, kekompakan pasukan Muslimin, ditambah lagi dengan dukungan angkatan perang Saifuddin Ghazi dari Mosul yang langsung begabung dengan pasukan kakak kandungnya , Nuruddin Mahmud untuk membendung pasukan Salib.

 Selanjutnya, Pada tahun 544 H/ 1149 M Nuruddin  menyerang kawasan sekitar benteng Harim di tepian sungai Ashi (Orontes) . Nuruddin lalu mengepung benteng Ini sehingga membuat Raymond de Poites segera mengerahkan pasukannya untuk menyelamatkan benteng tersebut. Kedua angkatan berperang itu itupun akhirnya bertemu pada tanggal 21 Shafar 544 H/ akhir juni 1149 M. Dalam pertempuran itu pasukan Muslim berhasil meraih kemenangan. Diantara korban terbunuh dari pihak salib adalah pemimpin mereka, Raymond de Poites dan beberapa panglima pasukan Frank. 

Kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh Nuruddin menghilankan rintangan terakhir yang menghalangi wilayah Zengi (Zanki) dan Yerussalem. Sec ra berangsur-angsur ia menyempurnakan  penaklukan wilayah Edessa (Ruha) yang rajanya, Joscelin II, pada tahun 1151 membawa para tahanan yang berjalan dirantai.Nur juga merebut sebagian kerajaan Antiokia (Antakya) dan menangkap raja mudanya, Bohemond III pada tahun 1164 bersama-sama dengan sekutunya yaitu Raymond III dari Tripoli.

 Pada tahun 569 H, panglima Nuruddin menderita sakit sesak nafas yang tidak berhasil diobati oleh para dokter kala itu. Panglima besar itu akhirnya wafat pada hari Rabu, 11 Syawwal 569 H. Jenazahnya dikebumikan di dalam Benteng Damaskus, tetapi kemudian dipindahkan ke Turbah bersebelahan dengan madrasah yang pernah didirikan untuk sahabat Imam Abu Hanifah , di dekat para tokoh (khawwashin) di jalan sebelah barat kota Damaskus.

d.    Perlawanan Shalahuddin al-Ayyubi (532-589 H)
Nuruddin wafat meninggalkan kekuasaanya kepada putranya Ismail yang bergelar al-Malik al-Shalih, yang kalau itu baru berusia kurang lebih  sebelas tahun. Sedangkan yang bertindak sebagai  penasihat sekaligus perencana urusan istana dan dan pemerintahan adalah Syamsuddin Ibn al-Muqaddam. Para pemimpin yang dahulu di bawah kekuasaan Nuruddin saling berlomba dan bersaing memperebutkan kekuasaan. Dari mereka saling berusaha untuk memperlemah kekuatan satu dengan yang lain, memperdaya serta, saling menjatuhkan satu sama lain.Di sisi lain  pemimpin –pemimpin yang lain cenderung untuk memisahkan diri  bersama wilayah yang selama ini berada di bawah kekuasaan mereka. Disamping itu ada pula sebagian mereka yang mengadakan perjanjian damai dengan Orang-orang Eropa dalam rangka memperkuat posisi untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Negri Syam  kala itu berada dalam kondisi yang sungguh mencekam. Kondisi semacam ini seolah-olah membawa Shalahuddin untuk menyelamatkan negeri Syam dari perpecahan yang busuk serta dari pertiakain yang menjijikkan itu.

Setelah penduduk Damaskus mengetahui berbagai fenomena di atas , maka mereka tidak menemukan jalan lain kecuali mengirmkan surat kepada Shalahuddin  untuk menyelamatkan negeri Syam  dan menghentikan fitnah yang menggoncang   negeri Syam. Bahak mereka memintanya untuk datang ke Syam menyelesaikan sendiri permasalahan  di sana  dan menyelamatkannay dari kehancuran, kebinasaan dan bencana besar. Permintaan itu direspon oleh Shalahuddin, maka tidak lama kemudian ia segera meninggalkan Mesir . Pada bulan Rabi’ul ‘Awal  570 H/1174 beiau tiba di Damaskus. 

Selama berada di Negeri Syam, Shalahuddin menghadapi tiga kekuatan sekaligus: pemberontakan Isma’iliyah, Eropa (pasukan salib) dan para pengikut Nuruddin yang berbalik menentangnya. Ketiga kekuatan tersebut datang secara bersamaan untuk menghalang-halangi Shalahuddin mewujudkan persatuan Islam antara Iraq, Syam dan Mesir. Atas berkat rahmat Allah kemudian tekad dan kemauan keras Shalahuddin mampu meraih kemenangan terhadap ketiga kekuatan tersebut.  Atas idzin Allah pula Shaluddin berhasil menyatukan negeri-negeri Islam yang menjadi cikal bakal kesuksesan kaum Muslimin membebaskan Baitul Maqdis.
Setelah menyatukan negeri-negri Islam Shalahuddin melanjutkan perjuangannya bersama kaum Muslimin merebut daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara Salib. Sejarah mencatat,berbagai penaklukan  kemudian dilakukan oleh Shalahuddin al –Ayyubi. Berawal dari Hithin yang menjadi berkah bagi pasukan Muslim yang terjadi  pada hari Sabtu 14 Rabi’ul akhir tahun 583 H/1187 M. Kemenangan pasukan Muslim di Hittin sungguh telah mengguncang musuh. Apalagi, segera setelah Hittin jatuh , Shalahuddin berhasil merebut sekian banyak kota di Palestina dari tangan penjajah. Satu demi satu kota pendudukan Kristen di kawasan ini direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi . Semua itu mencapai puncaknya ketika Shalahuddin berhasil membebaskan Baitul Maqdis dari tangan penjajah pada tangal 27 Rajab 583 H/ 12 Oktober 1187 M.

Di Hittin, pasukan Shalahuddin benar-benar berhasil melumat pasukan salib.Korban tewas di pihak pasukan salib mencapai 30.000 orang, sedangkan yang tertawan juga mencapai 30.000 orang . Semua panglima dan kesatria salib yang selamat dalam pertempuran itu berhasil ditawan , termasuk Raja Baitul Maqdis. Meskipun Raja Baitul Maqdis sudah menjadi tawanan perang, tetapi dia selalu diperlakukan dengan amat baik oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Bahkan Shalahuddin sendiri bersedia menuangkan minum untuk sang Raja. 

e.    Rahasia Kemenangan Shalahuddin Terhadap Kaum Salib
Kemenangan yang diaraih oleh Shalahuddin al-Ayyubi bukanlah karunia yang didapatkan tanpa sebab. Prof DR.Syekh  Nashih Ulwan dalam bukunya menyebutkan bahwa rahasia dan sebab kemenangan Shalahuddin dalam merebut Masjidil Aqsha ada lima :
 (a). Takwa Kepada Allah dan  Menjauhi maksiat.
 (b). Persiapan matang dan perhatian maksimal terhadap langkah pembebasan.
 (c) Kesatuan politik Negara-Negara Islam dibawah satu pemerintahan.
 (d) Berperang dengan mengagungkan kalimat Allah.
 (e) (Meyakini), Pembebasan merupakan ketetapan Islam dan Muslim.

Dibalik faktor-faktor di atas  masih terdapat faktor lain yaitu  aktivitas i’dad (persiapan) dan tajdid (pembaharuan) yang dijalani oleh Shalahuddin rahimahullah. Masih menurut Syekh Nashih Ulawan,ada lima bidang kehidupan Ummat Islam yang diperbaharui dan direcoveri oleh Shalahuddin Al ayyubi rahimahullah ,yaitu ;(1),sarana fisik,(2).Pendidikan.(3).Ekonomi,(4).Sosial,dan (5).Aqidah  . Aktifitas ishlah dalam semua  bidang kehidupan ini  berpijak  pada pembaharuan di bidang pendidikan.

3.      PERIODE KERUNTUHAN SALIB.(1193-1291)
Tahap atau periode ini sering disebut sebagai tahap perang saudara kecil-kecilan karena di sini sering terjadi perselisihan yang tajam diantara tentara Salib sendiri yang berakhir di tahun 1291 M, yaitu ketika mereka kehilangan tempat berpijak terakhir si Syria.   Will Durant mengatakan, “Kalau serangan –serangan gencar tentara Salib pada tahap awal karena faktor keyakinan agama, pada serangan-serangan pada tahap ketiga aksi mereka lebih didorong oleh ambisi-ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan  dan sesuatu yang bersifat material. Tujuan  untama untuk membebasakan kota suci mereka , Jerussalem  atau Baitul Maqdis seolah-olah dilupakan. Hal ini terlihat ketika tentara Salib yang dipersipakan untuk menyerang Mesir pada tahun 1203”.   Target perang diarahkan ke Mesir dengan pertimbangan: (1), Kekuatan Islam kala itu telah berpindah ke Mesir karena itu Mesir harus dikuasai lebih dulu.(2), Penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan untuk para pedagang Italia .  Durant melanjutkan, “Ternyata tiba-tiba justru membelok ke Konstantinopel dan merebut serta mendudukinya. Mereka lalu menunjuk Boldwin sebagai raja sehingga menjadikannya raja latin pertama yang berkuasa di Konstantinopel”. 

 Pada tahun  1218 M, barulah muncul kembali perhatian untuk membebaskan Baitul Maqdis, dimana untuk itu mereka pertama-tama harus menghadapi Mesir, sebagai salah satu pusat kekutan pertahanan Islam. Hanya saja posisi Mesir pada waktu itu tidak lagi seperti ketika Shalahuddin al-Ayyubi masih hidup dan menjadi pemimpin daerah tersebut. Al Kamil, penguasa Mesir saat itu tidak setangguh pendahulunya itu. Walaupun pasukannya telah berusaha secara optimal untuk membendung kekuasaan tentara Salib , pada akhirnya ia  terpaksa harus menyelamatkan daerah kekuasaanya dengan jalan mengikat perdamaian dengan tentara Salib yang dipimpin oleh Frederik II. Alhasil, pada tahun 1229 diadakanlah  perjanjian damai antara mereka yang intinya:
1.    Al-Malik al-Kamil bersedia melepaskan Baitul Maqdis kepada Frederik II sebagai pertukaran dengan kota Dimyat.
2.    Memperlakukan secara wajar dan memperhatikan kesejahteraan umat Islam yang ada di Baitul Maqdis.
3.    Frederik II berjanji akan mengirim bantuan kepada kaum Kristen di Syria.
Sebagai konsekwensi dari perjanjian damai tersebut, Bait al-Maqdis kembali berada dibawah kekuasaan tentara Salib. Kendati demikian melalui perjuangan panjang, kota-kota tersebut akhirnya kembali dapat dikuasai oleh umat Islamdi bawah kekuasaan al-Malik al-Shalih di tahun 1244 M. Pada tahun  1247 M, Damsyik, Tebrias, dan Askalan juga dapat direbut kembali.

Sementara itu, pada tahun 1263 M, Dinasti Mamalik yang berkuasa di Mesir merebut kembali kota Kerak, Kaisariah, Jappa, dan Antiokia setelah terlebih dahulu menghalau tentara Salib di sepanjang pantai Laut Tengah. Tentara Salib, yang tidak mampu membendung serangan pasukan Mamalik akhirnya mengusulkan gencatan senjata.

Akhirnya, perang Salib yang berkepanjangan selama dua abad dan banyak menelan korban jiwa dan harta ternyata tidak berhasil menguasai atau membagi-bagi wilayah Islam.  Meskipun demikian Dunia Kristen-Barat yang selama berratus-ratus tahun lamanya hidup abad pertengahan dalam kegelapan mendapat cahaya dari Timur-Islam yang merupakan dampak positif perang salib bagi Barat. (Bersambung Insya Allah).



 DAFTAR PUSTAKA
  Al-Atsir , Ibnu, 1424 H/2003 M, Al-Kamil fiy Al-Tarikh,jilid 10,  Beirut: Daar al Kutub al-‘Ilmiyah.

  Al-Kilaniy, Majid Irsan.Dr, 1423 H/2002 M,  Hakadza Dzahara Jiylu Shalahiddin Wa Hakadza ‘Aadat al-Quds, Dubai: Daar al-Qalam.

  Al-Malghuts, Sami bin Abdullah 2009,  Atlas Perang Salib Uraian Lengkap Seputar Perang Salib yang Belum Pernah Terungkap, (terj) Jakarta: Penerbit al-Mahira

  Al-Shalabiy.‘Ali Muhammad.Dr,1429 H/2008 M,  Shalaah al-Diyn Wa Juhuduhu Fiy al-Qadha ‘alaa al-daulah al-Fathimiyah Wa Tahrir al-Masjid al-Aqsho. Beirut: Dar al-Marifah.

Amrullah, Haji Abdul Malik  Abdul Karim  (HAMKA).Prof.Dr, 2003, Tafsir al-Azhar Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD.

Hitti, Philip K,1970, History of the Arabs,  London:McMilan.

Muchtar, A. Latief,1998, Gerakan Kembali Ke Islam, Bandung;PT Remaja Rosda Karya.

Reston, James,Jr, 2008,  Warriors of God: Richard the Lionheart and Saladin in the Third Crusade (terj), Tangerang: Lentera Hati.

Saefuddin, Didin, 2000,  Sejarah Politik Islam,Jakarta: Pustaka Intermasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar