Selasa, 20 Desember 2011

Toleransi Umar

JIKA barometer toleransi abad 20 ini dideteksi di setiap penjuru dunia, maka Jerussalem mungkin adalah yang terburuk.

Pada akhir tahun 1987 saya sempat berkunjung ke kota Jerussalem lama. Kota kuno di atas bukit yang dikelilingi tembok raksasa itu menyimpan tempat suci utama tiga agama. Ketiganya adalah Masjid al-Aqsa, Wailing Wall (Dinding Ratapan) dan Gereja Holy Sepulchre (Kanisat al-Qiyamah). Di zaman modern tempat ini adalah daerah konflik yang paling menegangkan di dunia.

Ketika menapaki jalan-jalan di kota tua itu banyak perisiwa menegangkan. Saya menyaksikan seorang pendeta Katholik dan seorang rabbi Yahudi saling memaki dan sumpah serapah, nyaris saling bunuh.

Di lorong-lorong pasar saya melihat ceceran darah segar Yahudi dan Palestina. Di pintu masuk dinding ratapan saya bertemu seorang Yahudi Canada. Dengan pongah dan percaya diri dia teriak, "I come here to kill Muslims". Di pintu gerbang masjid Aqsa, seorang tentara Palestina menangis selamatkan masjid al-Aqsa! Selamatkan masjid al-Aqsa!

Namun jika deteksi toleransi itu dialihkan abad ke 7 dan seterusnya mungkin Jerussalem justru yang terbaik. Setidaknya sejak Muslim memimpin dan melindungi kota ini. Jika kita menelurusi lorong via dolorosa menuju Gereja Holy Sepulchre orang akan tersentak dengan bangunan masjid Umar. Masjid Umar itu terletak persis didepan gereja yang diyakini sebagai makam Jesus. Di situ semua sekte berhak melakukan kebaktian. Melihat lay-out dua bangunan tua ini orang akan segera berkhayal “ini pasti lambang konflik dimasa lalu”. Tapi khayalan itu ternyata salah. Fakta sejarah membuktikan masjid itu justru simbol toleransi.

Sejarahnya, umat Islam dibawah pimpinan Umar ibn Khattab mengambil alih kekuasaan Jerussalem dari penguasa Byzantium pada bulan Februari 638. Mungkin karena terkenal wibawa dan watak kerasnya Umar memasuki kota itu tanpa peperangan. Begitu Umar datang, Patriarch Sophronius, penguasa Jerussalem saat itu, segera “menyerahkan kunci” kota.

Syahdan diceritakan ketika Umar bersama Sophronius menginspeksi gereja tua itu ia ditawari shalat di dalam gereja. Tapi ia menolak dan berkata: “jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka, hanya karena saya pernah shalat disitu”.

Umar kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh ia kemudian melakukan shalat. Umar kemudian menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak pengikutnya, sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Itulah toleransi Umar.

Toleransi ini kemudian diabadikan Umar dalam bentuk Piagam Perdamaian. Piagam yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah itu mirip dengan piagam Madinah. Dibawah kepemimpinan Umar non-Muslim dilindungi dan diatur hak serta kewajiban mereka.

Piagam itu di antaranya berisi sbb: Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama. Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas. Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizya) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya.

Sebagai ganti perlindungan terhadap diri, anak cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan jaminannya. “kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami;..Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam… kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim; kami tidak akan menjual minuman keras; kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar milik umat Islam”. (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan Fiedmann, Albany, 1992, p. 191)

Bukan hanya itu. Salah satu poin dalam Piagam itu melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem. Ini atas usulan Sophorinus. Namun Umar meminta ini dihapus dan Sophorinus pun setuju. Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalam dan mendirikan synagogue. Konon Umar bahkan mengajak Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah. Itulah toleransi Umar.

Piagam Umar ternyata terus dilaksanakan dari sau khalifah ke khalifah lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi dan Kristen serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.

Di tempat itulah kemudian Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193, membangun masjid permanen. Jadi masjid Umar inilah saksi toleransi Islam di Jerussalem.

Namun, kini Jerussalem yang damai tinggal cerita lama. Belum ada jalan kembali menjadi kota toleransi. Lebih-lebih makna toleransi seperti dulu sudah mati oleh liberalisasi. Umar maupun Sophorinus tidak mungkin akan dinobatkan menjadi “Bapak pluralisme”. Sebab menghormati agama orang lain kini tidak memenuhi syarat toleransi. Toleransi kini ditambah maknanya menjadi menghormati dan mengimani kebenaran agama lain. Tapi “ini salah” kata Muhammad Lagenhausen. Kenneth R. Samples, pun sama “Ini penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen”. Biang keladinya adalah humanis sekuler yang ateis dan paham pluralisme agama (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal). Bagi saya toleransi model pluralisme ini adalah utopia keberagamaan liberal yang paling utopis.

(Sumber:Tulisan Ust Dr. Hamid Fahmi Zarkasy Direktur Program PKU ISID pada Jurnal ISLAMIA-Republika edisi Kamis 15 Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar