Senin, 05 September 2011

"Warna-Warni Idul Fithri"

Oleh: Dr. Adian Husaini

Senin (29/8/2011) pagi itu, saat saya menonton TV bersama-sama anak saya, muncullah berita: Jamaah Naqshabandiyah di Sumatera Barat sudah merayakan Idul Fithri 1432 H. Anak-anak saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar langsung bertanya: “Sekarang sudah lebaran?” Saya jelaskan pada mereka, “Itu kelompok yang menyimpang. Yang aneh!”

Aneh memang, setidaknya, saya sempat melihat tiga stasiun TV menyiarkan Idul Fithri kelompok Naqshabandiyah itu. Sayangnya, tanpa ada penjelasan apa pun dari otoritas keagamaan di Indonesia,apakah dari MUI atau pengurus Tarekat Mu’tabarah. Segera saya mengirim SMS ke sejumlah pimpinan MUI, mohon agar mereka mengklarifikasi aktivitas Jamaah Naqshabandiyah tersebut. Dijawab oleh seorang pimpinan MUI, bahwa tadi pagi Sekjen MUI sudah memberikan penjelasan. Entah TV-TV itu yang tidak tahu atau sengaja tidak memuat klarifikasi MUI. Wallahu a’lam.

Saya maklum, dalam kredo jurnalistik lama masih berlaku jargon “anjing menggigit manusia bukan berita, tetapi manusia menggigit anjing itu baru berita.” Dalam pepatah Arab juga ada ungkapan: “bul zamzam tu’raf!”, kencingilah sumur zamzam, maka kamu akan terkenal!

Tentu saja, dari sudut pandang Islam, berita tentang Idul Fithri kelompok Naqshabandiyah itu, sangat tidak mendidik. Dan itu juga bertentangan dengan salah satu fungsi jurnalistik, yakni fungsi edukasi. Berita itu memang “aneh”, menarik, dan “nyeleneh”, tapi seharusnya pendapat sekelompok orang yang ‘nyeleneh’, tidak bisa disejajarkan derajatnya dengan pendapat jumhur umat Islam. Dalam dunian ilmu pengetahuan dan jurnalistik pun, dipegang kualitas dan kredibilitas nara sumber.
Kita maklum, ini Negara demokrasi! Kata sebagian penganutnya: suara rakyat adalah suara Tuhan! Meskipun suara rakyat Israel yang setuju menjajah Palestina, jelas suara setan!
*****

Bersamaan dengan munculnya beberapa kali tayangan berita Idul Fithri Naqshabandiyah, muncul pula berita berjalan “running text” di beberapa stasiun TV: “PP Muhammadiyah menetapkan Idul Fithri 1432 H, jatuh pada Hari Selasa (30/8/2011)”. Anak-anak saya bertanya lagi: “Jadi besok kita lebaran?” Anak saya yang duduk di bangku kelas 3 SD hari itu sudah merengek-rengek minta batal, karena kehausan. Saya bilang, “Ya sudah, kamu besok boleh tidak puasa!”

Hingga habis magrib, anak-anak lainnya masih terus bertanya, “Jadi besok kita lebaran?” Saya katakan: “Kita nunggu pengumuman pemerintah.” Istri saya ikut menjelaskan: “Tunggu pengumuman Presiden!”

Memang, Senin itu cukup mengasyikkan.Bukan hanya menjawab pertanyaan anak-anak. Puluhan SMS juga datang bertubi-tubi menanyakan, kapan kita Idul Fithri? Kepada mereka saya jawab: “Saya menunggu sidang itsbat.” Saya hanya mewakili pribadi. Bukan mewakili pendapat satu ormas atau lembaga tertentu.

Ada juga yang tidak puas dengan jawaban saya. Seorang professor, kolega saya, menyatakan, bahwa pemerintah Indonesia kan bukan pemerintah Islam. Jadi tidak bisa dijadikan pegangan. Saya jawab: “Memangnya sekarang ini ada pemerintahan Islam?” Maaf, setahu saya, -- mungkin saya keliru – di Mesir, Ikhwanul Muslimin tidak mengumumkan Id sendiri, meskipun rezim Mesir tak henti-hentinya menindas mereka. Meskipun beroposisi, setahu saya, Partai PAS di Malaysia juga tidak mengumumkan Id sendiri.

*****

Lalu, tibalah saatnya Sidang Itsbat berlangsung! Jujur, baru kali ini saya menyaksikan secara langsung dan lengkap jalannya Sidang Itsbat di Kementerian Agama. Bagi saya, itu sangat menarik. Begitu “demokratisnya” Indonesia. Dipimpin langsung oleh Menteri Agama, jalannya sidang itu bisa disaksikan secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia. Dugaan saya, mekanisme seperti ini tidak dijumpai di negara-negara lain.

Dalam sidang Itsbat itu, MUI -- melalui salah satu ketuanya, KH Ma’ruf Amin -- mengantarkan, bahwa sudah ada fatwa MUI tahun 2004, yang menyatakan, umat Islam Indonesia wajib mengikuti keputusan pemerintah dalam soal penetapan awal Ramadhan, Idul Fithri, dan Idul Adha.

Oohhh, ternyata sudah ada fatwa itu. Tapi, ternyata, tidak bergigi! Tentu, banyak sebabnya. Mungkin, kelemahan itu ada dipihak MUI, di pihak pemerintah, atau mungkin pula di pihak Ormas-ormas Islam. Di sini, tak cukup tempat untuk menelusurinya.

Sungguh asyik menonton Sidang Itsbat malam itu! Meskipun anak-anak saya tidak sabar menunggu, dan pergi satu persatu dari depan layar TV. Mereka hanya mau keputusan: “Kita Lebaran kapan? Itu saja!”

Asyiknya, sidang itu bukan hanya dihadiri oleh wakil-wakil Ormas Islam, tetapi juga sejumlah pakar astronomi terkemuka di Indonesia. Di situ pula dibacakan semua laporan yang masuk, baik yang mengaku melihat hilal (bulan sabit) maupun yang tidak! Sebagian besar mengaku tidak melihat hilal. Berdasarkan pendapat beberapa ulama yang dibacakan oleh Ketua MUI, maka kesaksian yang bertentangan dengan kesepakatan ahli hisab atau astronomi yang sudah diyakini kebenarannya, tidak dapat diterima.

Saya terus terang menikmati acara sidang itsbat itu. Mungkin, itu satu-satunya di dunia Islam. Berbagai aspirasi disampaikan secara langsung. Terbuka. Akhirnya, sekitar pukul 20.00, berdasarkan mayoritas suara peserta sidang Itsbat – Menteri Agama memutuskan: Idul Fithri 1432 H di Indonesia jatuh pada hari Rabu (31/8/2011).

Tibalah saat yang menentukan! Saya harus menjelaskan kepada anak-anak saya, kapan saya ber-Idul Fithri 1432 H. Berpuluh tahun saya terlibat dalam polemik masalah ini. Malam itu, saya menggunakan logika sederhana saja. Saya lihat semua tokoh yang berbeda pendapat selalu mengimbau agar umat Islam bisa menerima perbedaan, karena yang berlebaran hari Selasa atau pun Hari Rabu, sama-sama benar. Hanya kriteria yang digunakan berbeda!

Saya percaya, ucapan para pemimpin Ormas Islam itu tulus ikhlas. Sama antara mulut dan hatinya. Karena itu, saya putuskan, saya ber-Idul Fithri 1432 H, Hari Rabu (31/8/2011). Sebab, keduanya berdasarkan dalil. Keduanya sama-sama benar. Dengan memilih Rabu, saya punya kesempatan menambah ibadah Ramadhan 1 (satu) hari lagi. Lumayan….!
Lalu, saya ajak anak-anak saya shalat Isya’ dan tarowih berjamaah. Anak saya yang kelas 3 SD ikut shalat tarawih juga. Tapi, esoknya dia tetap konsisten, tidak puasa. Katanya, ikut lebaran dengan yang lain. Kami hanya tersenyum… Dan Alhamdulillah, sejumlah tetangga kami juga ikut ber-Idul Fithri hari Selasa. Berbeda-beda, tetapi tetap berukhuwah!
*****


Pada 27 Ramadhan 1432 H, sekelompok professional Muslim Indonesia mengeluarkan sebuah petisi bertajuk “PETISI UKHUWAH DAN PERSATUAN”. Sebuah slogan dikumandangkan: “BEDA BOLEH! SATU LEBIH BAIK! SATU LEBIH INDAH! “ (http://www.petitiononline.com/ukhuwwah/).

Ajakan itu menarik. Dalam beberapa hari, ratusan orang kemudian menandatangani petisi tersebut. Mereka rindu persatuan! Disebutkan dalam Petisi, bahwa ulama terkenal, Dr. Yusuf Qaradhawi pernah berpendapat, jika kaum Muslim tidak mampu mencapai kesepakatan pada tingkat global, minimal mereka wajib berobsesi untuk bersatu dalam satu kawasan. Kata Syekh Qaradhawi, tidak boleh terjadi di satu negara atau satu kota kaum Muslim terpecah-pecah; beda pendapat dalam penentuan awal Ramadhan atau Hari Raya. Kaum Muslim di negara itu harus mengikuti keputusan pemerintahnya, meskipun berbeda dengan negara lain. Sebab, itu termasuk ketaatan terhadap yang ma’ruf. (Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jld II (terj), Jakarta :GIP, 1995 , hal. 315).

Kaidah Ushul Fiqih menyatakan: “Al-khurûj minal khilâf mustahabbun” (Menghindar dari perpecahan itu lebih dicintai (sunnah).” (Lihat, Abu Bakar al-Ahdal asy-Syafii, al-Faraid al-Bahiyah fil-Qawaid al-Fiiqhiyyah, (Semarang: Toha Putra, 1997, hal. 24, kaedah no. 12).

Begitulah Isi Petisi itu. Dan saya ikut tandatangan tanda setuju!

Seorang pimpinan salah satu Ormas Islam (Ust Muhammad Zaitun Rasmin Lc, MA [ketua DPP Wahdah Islamiyah]), dalam Sidang Itsbat di Kemenag, Senin malam itu, membacakan satu hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang indah, yang mengajak kaum Muslimin berpuasa dan ber-Hari Raya pada saat masyarakat melakukannya. Hadits ini, katanya, memberikan isyarat bahwa seharusnya kaum Muslimin di satu lokasi tidak boleh merayakan Idul Fithri pada hari yang berbeda.

Saya setuju! Tampaknya, salah satu hikmah Idul Fithri adalah persatuan umat. Di hari yang sama, semua kaum Muslimin bersama-sama merayakan kemenangan. Soal perhitungan yang “jlimet-jlimet” dalam perhitungan “wujudul hilal” atau “imkanur-ru’yat” adalah metodologi yang tak habis-habisnya dibahas. Sudah ratusan tahun masalah ini diperdebatkan di antara para ulama. Toh, ujung-ujungnya, semua tetap dengan pendapatnya masing-masing. Maka, dalam soal ini, yang penting dan menjadi keputusan akhir adalah “Keputusan Ulil Amri”.

Para jamaah haji sedunia tak pernah mempersoalkan akurasi keputusan Pemerintah Saudi saat penentuan wukuf! Pemerintah Saudi juga tidak menggelar Sidang Itsbat, seperti di Indonesia. Yang penting, semua berwukuf pada hari yang sama! Padahal, banyak pihak yang menilai, pemerintahan Saudi pun tidak sesuai dengan sistem Islam! Jika secara astronomi pemerintah Saudi salah ambil keputusan, jamaah haji juga tidak wajib mengulang ibadahnya. Meskipun tahun ini kita ber-Idul Fithri 20 jam lebih lambat dari Saudi, toh kita tidak juga menggeser shalat Jumat kita menjadi 20 jam kemudian, pasca shalat Jumat di Saudi!

Jadi, tampaknya, Ibadah Idul Fithri dan Idul Adha memang dimaksudkan agar kita semakin cinta kepada persatuan dan persaudaraan sesama Muslim. Jika kita mau, InsyaAllah kita mampu bersatu. Kita tentu tidak hanya mengaku cinta persatuan di mulut, tetapi dalam hati bercerai-berai dan saling mendendam.
Terlepas soal perbedaan, apa pun Harinya, sejatinya kita tetap ber-Idul Fithri 1 Syawal. Tidak ada yang 2 Syawal! Minal ‘Aidin wal-Faizin, Mohon Maaf lahir dan batin. Taqabbalallahu minna waminkum. Wallahu a’lam bil-shawab.*/ (Disalin dari CAP Adian Husaini di :)http://www.hidayatullah.com/read/18695/04/09/2011/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar