Jumat, 29 Oktober 2010

MENJADI WANITA PENGUKIR SEJARAH


Indahnya cahaya keimanan dan keyakinan tidak hanya terpancar dari kaum laki-laki saja. Sebagai sesama hamba Allah yang juga diperintahkan menjalankan kewajiban dan ketaata, telah muncul begitu banyak panutan dan suri tauladan bagi kaum hawa. Sebut saja Khadijah binta Khuwailid radhiallahu anha, manusia yang pertama beriman dan menjadi pengikur Rasulullah , serta wanita-wanita termulia pada zamannya. Sampai-sampai Rasulullah pernah berkata tentangnya, “Sungguh demi Allah, dia telah beriman kepadaku disaat manusia mendustakanku, melindungiku disaat manusia mengusirku”.
Begitu pula dengan Aisyah radhiallahu anha , keutamaannya diantara para wanita adalah seperti yang digambarkan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik  , ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda : Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid (bubur daging dan roti) atas makanan yang lainnya. (HR. Shahih Muslim).
Isteri-isteri Rasulullah  di dunia adalah isteri beliau di surga. Masing-masing mempunyai keutamaan yang layak dijadikan panutan. Selain mereka ada Asiyah binti Muzahim istri Firaun, ada pula Maryam Binti Imran dan juga Fatimah binti Rasulullah Muhammad . Mereka adalah wanita-wanita yang telah menyempurnakan ketaatannya.
Begitu juga dengan isteri para sahabat dan wanita-wanita lainnya pada zaman Rasulullah . Hidupnya penuh dengan ketaatan kepada Allah, Rasul dan suaminya. Ketika suaminya hendak pergi bekerja, diantara mereka ada yang berpesan, “wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah dan jangan engkau makan sesuatu yang haram, sesungguhnya kami sabar untuk menahan lapar di dunia namun kami tidak sabar dengan siksa api neraka di hari kiamat.” Manakala suaminya kembali dari Masjid mereka juga berkata, “Berapa ayat al quran yang turun hari ini? Berapa hadits Rasulullah  yang telah engkau hafal.”
Diriwayatkan ada seorang laki-laki yang selalu terburu-buru keluar meninggalkan masjid seusai shalat. Lalu, Rasulullah  bertanya kepadanya, “Mengapa kamu begitu tergesa-gesa seusa shalat dan cepat-cepat pergi? Apakah kamu tidak suka dengan kami? Laki-laki itu berkata, “Tidak wahai Rasulullah, demi dzat yang mengutusmu menjadi nabi, aku tidak mempunyai pakaian selain yang aku pakai, aku meninggalkan istreriku di rumah dan ia menungguku serta pakaian ini untuk dipakai shalat. Sesampainya di rumah ia menceritakan perbincangannya dengan Rasulullah  kepada istrinya. Lalu sang istri berkata, “Apakah engkau mengadukan Allah kepada Rasul-Nya?” Suaminya pun menjawab, “Demi Allah, tidak”.
Tidak hanya itu, wanita-wanita shalihah itupun terbang bersama angin dalam merespon berbagai perintah Allah dalam berbagai hal. Adalah Khansa’ seorang wanita yang mengobarkan semangat jihad kepada keempat putranya ketika tejadi perang Qadisiyah. Begitu mendengar berita kematian keempat putranya, ia berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kesyahidannya, mudah-mudahan Allah mengumpulkanku bersama mereka dalam naungan rahmat-Nya.
Begitu juga dengan Ummu Sulaim binti Malhan al Anshariyah istri dari Abu Thalhah, yang anaknya meninggal di saat suaminya tidak ada di rumah. Segera dipersiapkan segala sesuatunya seperti hari-hari biasanya, tidak ada kepanikan, jeritan apalagi ratapan yang membawa dosa. Dengan penuh kehangatan ia sambut kepulangan suaminya. Ia telah menyiapkan makanan dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Hingga tiba saatnya, ia pun berkata, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu apabila tentang keluarga si fulan yang meminjam sesuatu dan telah memanfaatkannya, tatkala pemiliknya hendak mengambilnya ia menjadi berat. Abu Thalhah menjawab, “sungguh mereka tidak bijaksana.” Sang istri berkata, “Sesungguhnya anakmu adalah pinjaman dari Allah dan sekarang telah diambilnya.” Abu Thalhah pun mengatakan , “Innalillahi wa inna ilaihi raji’uuun” seraya membaca tahmid dan berkata, “sungguh demi Allah. Aku tidak mau kalah denganmu dalam hal kesabaran.”
Hal-hal diatas memang tinggal sejarah dan cerita. Cerita yang layak diperdengarkan dan dijadikan panutan, sebagaimana al Quran yang banyak berisi kisah-kisah umat umat terdahulu namun menjadi petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Tidak ada gunanya belajar sejarah tanpa meneladani setiap kebaikan yang ada didalamnya. Para pelaku sejarah itu telah mendapatkan pahala dari Rabbnya atas apa yang telah mereka lakukan dan kita pun akan mendapatkan balasan atas apa yang telah dan akan kita lakukan.
HIdup ini ibarat sejarah yang selalu terulang. Kebaikan adalah apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, kejelekan adalah apa-apa yang telah diperingatkan Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa-peristiwa yang ada hanyalah pengulangan dari peristiwa sebelumnya, hanya bentuk dan pelakunya yang selalu bergantian dari masa ke masa.
Bila ummat terdahulu tinggal sejarah, kita pun akan menjadi sejarah untuk generasi selanjutnya, minimal untuk anak keturunan kita. Bila istri-istri Rasulullah, istri para sahabat dan wanita pada zaman Rasulullah yang telah menjadi pelaku sejarah yang harum dalam merespon segala bentuk kebaikan, kini tiba gilirannya istri-istri dan wanita yang mengaku sholihah untk membuktikan pengakuannya, menjadi hamba yang mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan, mendampingi suami mendambakan keridhaan Allah dan surga-Nya.
Semakin gemerlapnya kehidupan dunia membuat banyak wanita tidak sabar hidup bersama laki-laki yang lebih memilih Allah dan kehidupan akhirat. Mencuatnya berbagai isu dan slogan-slogan yang memojokkan islam membuat wanita takut mendidik anak-anaknya untuk berislam secara kaffah.
Jadikanlah hidup ini langkah-langkah yang selalu meniti diatas kebenaran. Buatlah sejarahmu menjadi harum, tertulis dengan tinta-tinta emas dan dikenang sepanjang masa. Teladanilah para pendahulu dan hanya kepada Allahlah engkau menghadap.
(Ditulis dari Majalah Ar Risalah Edisi 110).
Makassar, 30-10-2010

Kamis, 28 Oktober 2010

INGIN MAKIN BODOH,TERUSLAH MEROKOK


            Anggapan orang bahwa merorok adalah tindakan bodoh makin mendekat kebenaran . Para perokok dianggap bodoh karena mengabaikan ancaman yang tertulis pada setiap kemasan rokok ; “Merokok dapat menyebabkan kanker,serangan jantung,impotensi,dan gangguan kehamilan dan janin!”.Namun lebih dari itu ,merokok ternyata benar-benar menurunkan tingkat kecerdasan seseorang.
            Setidaknya inilah yang telah dibuktikan oleh DR  Mark Weiser dari Sheba Medical Center di Tel Hashomer ,Israel.Dalam penelitian yang melibatkan 20.000 calon taruna militer Israel,didapatkan bahwa mereka yang merokok ternyata memiliki IQ lebih rendah daripada yang tidak merokok.
            Sebanyak 28 %  dari peserta penelitian merokok setidaknya tiga batang sehari ,3 % adalah mantan perokok ,dan hanya 68 % yang tidak pernah merokok.
            Setelah menjalani tes ,terlihat bahwa perokok secara signifikan memiliki skor IQ lebih rendah  daripada non-perokok.IQ rata-rata non-perokok sekitar 101 ,sedangkan para  perokok memiliki point 94.Secara pasti poin IQ ini terus turun seiring meningkatnya konsumsi rokok,dari 98 pada kelompok yang menghabiskan lima batang rokok sehari,dan 90 pada kelompok yang menghabiskan lebih dari satu bungkus per hari.Peneliti juga membandingkan IQ  pada 70 pasang saudara kandung ,dimana terdapat satu saudara merokok  dan yang lain tidak.Sekali lagi ,IQ rata-rata  untuk non –perokok pada kelompok saudara vkandung lebih tinggi dibandingkan dengan perokok.
            Jadi,kalau mau bertambah bodoh,teruskanlah kebiasaan merokok
(sumber: Majalah ar Risalah No 106/Vol IX/10 Rabi’ul akhir –Jumadil Ula 1431 H)

BIARLAH, HANYA ALLAH YANG MENGENALKU


Ada sebuah pesan menarik dari seorang ulama salaf, tu’rafuna fi ahlis-sama’ wa tukhfuna fi ahlil ardhi. Berusahalah agar kalian lebih dikenal oleh para penghuni langit, walau tak seorangpun penduduk bumi yang mengenal kalian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut tipe manusia seperti ini dengan sebutan Al Akhfiya’ ; manusia-manusia tersembunyi. Beliau juga mengatakan Allah azza wa jalla sangat mencintai manusia tipe ini. Mereka tidak pernah peduli apa kata manusia tentang mereka, sebab -bagi mereka-  yang penting adalah apa kata Allah tentang mereka. Itulah sebabnya, mereka tidak pernah mengalami kegilaan akan kemasyhuran.
Dan ini adalah kisah salah satu dari mereka. Ia hidup di masa tabi’in. Namun hingga hari ini tak satu buku sejarahpun yang dapat menyingkap identitas pria ini. Satu-satunya informasi tentangnya hanyalah bahwa ia seorang berkulit hitam dan bekerja sebagai tukang sepatu! Shahibul hikayat adalah seorang tabi’in bernama Muhammad ibn al-Munkadir –rahimahullah-.
Malam itu sudah terlalu malam dan gelap. Namun walaupun malam, udara terasa lebih panas dari biasannya. Tidak aneh memang, sebab hari-hari itu adalah hari-hari kemarau panjang di kota itu. Sudah satu tahun ini kota Madinah tidak pernah mendapat curahan air dari langit. Entah telah beberapa kali penduduk kota itu berkumpul untuk melakukan shalat istisqa’ demi meminta hujan. Namun hingga malam itu, tak setetes hujanpun yang turun menemui mereka.
Dan malam itu, seperti biasanya bila sepertiga akhir malam menjelang, Muhammad ibn al-Munkadir meninggalkan rumahnya dan bergegas menuju Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Usai mengerjakan sholatnya malam itu, ibn al-Munkadir bersandar ke salah satu tiang masjid. Tiba-tiba ia melihat sebuah sosok bergerak tidak jauh dari tempatnya bersandar. Ia mencoba untuk mengetahui siapa sosok itu. Agak sulit sebab malam sudah begitu gelap. Dengan agak susah payah ia melihat seorang pria berkulit hitam agak kecoklatan. Tapi ia sama sekali tidak mengenalnya. Pria itu membentangkan sebuah kain di lantai masjid itu dan pria itu sepertinya benar-benar merasa hanya ia sendiri dalam masjid. Ia tidak menyadari kehadiran Ibn al-Munkadir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Ia berdiri mengerjakan shalat dua raka’at. Usai itu, ia duduk bersimpuh. Begitu khusyu’ ia bermunajat. Dalam munajat itu, ia mengatakan, “Duhai Tuhanku, penduduk negeri Haram-Mu ini telah bermunajat dan memohon hujan pada-Mu namun Engkau tidak kunjung mengaruniakannya pada mereka. Duhai Tuhanku, sungguh aku mohon pada-Mu curahkanlah hujan itu untuk mereka.”
Ibn al-Munkadir yang mendengar munajat itu agak sedikit mencibir. “Dia pikir dirinya siapa mengatakan seperti itu,” gumamnya dalam hati. “Orang-orang shaleh seantero Madinah telah keluar untuk meminta hujan, namun tak kunjung dikabulkan… Lalu tiba-tiba, orang ini berdoa pula…,” gumamnya.
Namun sungguh di luar dugaan, belum lagi pria hitam itu menurunkan kedua tangannya, tiba-tiba saja suara guntur bergemuruh dari langit. Tetesan-tetesan air hujan menetes ke bumi. Sudah lama tidak begitu. Tak terkira betapa gembiranya pria itu. Segala pujian dan sanjungan ia ucapkan kepada Allah ta’ala. Namun tidak lama kemudian ia berkata dengan penuh ketawadhu’an, “Duhai Tuhanku, siapakah aku ini? Siapakah gerangan aku ini hingga Engkau berkenan mengabulkan doaku?”
Ibn al-Munkadir hanya tertegun di tempatnya memandang pria itu. Tak lama sesudah itu, pria tersebut bangkit kembali dan melanjutkan raka’at-raka’atnya. Hingga ketika saat subuh menjelang, sebelum kaum muslimin lainnya berdatangan, ia segera menyelesaikan witirnya. Ketika shalat subuh ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seolah-olah ia baru saja sampai di masjid itu. Usai mengerjakan shalat subuh, pria itu bergegas keluar meninggalkan masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jalan-jalan kota Madinah subuh itu digenangi air. Pria itu berjalan cepat sambil mengangkat kain bajunya. Menghilang. Ibn al-Munkadir yang berusaha mengikutinya kehilangan jejak. Ia benar-benar tidak tahu kemana pria hitam itu pergi.
Malam kembali merangkak semakin jauh. Malam ini, Muhammad ibn al-Munkadir kembali mendatangi Masjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat pria hitam itu. Persis seperti kemarin. Ia mengerjakan shalat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika shalat ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seperti orang yang baru saja tiba di masjid itu. Ketika sang imam mengucapkan salam, pria itu tidak menunggu lama. Persis seperti kemarin, ia bergegas meninggalkan masjid itu. Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Pria itu menuju ke sebuah lorong dan setibanya di sebuah rumah ia masuk ke dalamnya. “Hmm, rupanya di situ pria ini tinggal. Baiklah sebentar aku akan mengunjunginya.”
Matahari telah naik sepenggalan. Usai menyelesaikan shalat Dhuha-nya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria itu. Ternyata ia sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu. Begitu ia melihat Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya. “Marhaban  wahai Abu ‘Abdullah –begitulah Ibn al-Munkadir dipanggil-! Adakah yang bisa kubantu? Mungkin engkau ingin memesan sebuah alas kaki?” ujar pria itu menyambut kedatangan Ibn al-Munkadir.
Namun Ibn al-Munkadir justru menanyakan hal yang lain. “Bukankah engkau yang bersamaku di masjid kemarin malam itu?”
Dan tanpa diduga, wajah pria itu tampak sangat marah. Dengan nada suara yang tinggi ia berkata, “Apa urusanmu dengan itu semua, wahai Ibn al-Munkadir??!”
“Tampaknya ia sangat marah. Aku harus segera pergi dari sini,” ujar Ibn al-Munkadir dalam hati. Ia pun segera pamit meninggalkan rumah tukang sepatu itu.
Inilah malam ketiga sejak peristiwa itu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Ibn al-Munkadir berjalan menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Satu hal yang agak berbeda malam itu. Di hatinya ada harapan yang kuat untuk melihat pria tukang sepatu itu. Setibanya di masjid dan mengerjakan shalat seperti biasanya, ia bersandar sambil berharap pria itu kembali terlihat di depan matanya.
Namun malam semakin malam, pria yang ditunggu-tunggu tidak kunjung kelihatan. Ibn al-Munkadir tersadar. Ia telah melakukan kesalahan. “Inna lillah ! Apakah yang telah kulakukan??” itulah gumamnya saat menyadari kesalahan itu.
Dan usai shalat subuh, ia segera meninggalkan masjid itu dan mendatangi rumah sang tukang sepatu. Namun, yang ditemukan hanyalah pintu rumah yang terbuka dan tidak ada lagi pria itu. Penghuni rumah itu berkata,”Wahai Abu ‘Abdullah! Apa yang terjadi antara engkau dengan dia?”
“Apa yang terjadi?” Tanya Ibn al-Munkadir
“Ketika engkau keluar dari sini kemarin itu, ia segera mengumpulkan semua barangnya hingga tidak satupun yang tersisa. Lalu ia pergi dan kami tidak tahu kemana ia pergi hingga kini,” jelas penghuni rumah itu.
Dan sejak hari itu, Ibn al-Munkadir mengelilingi semua rumah yang ia ketahui di kota Madinah. Namun sia-sia belaka. Pencariannya tidak pernah membuahkan hasil. Dan hingga kini di abad 14 Hijriyah ini. Kita pun tidak pernah tahu siapa pria tukang sepatu itu. Jejak-jejaknya yang terhapus oleh hembusan angin sejarah seolah bergumam, “Biarlah, hanya Allah yang mengenalku…”

Sumber: Kerinduan Seorang Mujahid, Abul Miqdad al-Madany (Hal:103-108)

Minggu, 24 Oktober 2010

Kebaikan itu banyak jalannya

Sungguh di dunia ini kita sedang menjalani ujian yang mana akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Banyak jalan yang akan kita tempuh, apakah kita akan menempuh jalan yang telah diridhoi-Nya atau akan menempuh jalan yang dimurkai-Nya. Seperti Dalil dari Al Quranul Karim yang menyebutkan Firman Allah :

Kebaikan apapun yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah pasti mengetahuinya.”
(QS Al Baqarah : 215)
Dia juga berfirman :
Kebaikan apapun yang kamu kerjakan, niscaya Allah mengetahuinya...” (QS Al Baqarah :197)
Selain itu ,Dia juga berfirman :

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan meski hanya sebesar dzarrah niscaya dia akan melihat (balasannya)” (QS Az Zalzalah : 7)

Allah juga berfirman :

”Barang siapa berbuat kebaikan, maka kebaikannya untuk dirinya sendiri”.(QS Al Jatsiyah :15)

Dari beberapa ayat Al Quran diatas maka Allah telah memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya bahwa barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan maka manfaat dari amal kebaikan adalah untuk dirinya sendiri, tidak akan sampai kepada Allah kecuali ketakwaan seseorang. Kemudian dalil-dalil dari hadist menyebutkan diantaranya :
          Dari Abu Dzarr Jundab bin Junadah radhiyallahu anhu dia bercerita aku bertanya :“Ya Rasulullah amal perbuatan apa yang paling baik?“ beliau menjawab : “Beriman kepada Allah dan berjihad di Jalan-Nya.” Budak  manakah yang paling utama ?” tanyaku lebih lanjut. Beliau menjawab : ”Budak yang paling bagus bagi tuannya dan paling mahal harganya.” Kutanyakan lagi, “Lalu, bagaimana jika aku tidak mampu melakukannya?” Beliau menjawab : ”Hendaklah engkau memberi bantuan kepada orang yang tidak mampu atau berbuat sesuatu untuk orang yang kurang mampu melakukannya.”  “Ya Rasulallah, bagaiman pendapatmu jika aku tidak mampu mengerjakan beberapa pekerjaan?” Tanyaku. Beliau menjawab : ”Hendaklah engkau mencegah kejahatanmu dari orang lain, sebab hal itu merupakan sedekah darimu untuk dirimu sendiri. (Muttaq ‘alaihi)
Kandungan hadist :
  1. Modal paling utama bagi seseorang adalah iman kepada Allah dan pengesaan-Nya, dan ia merupakan dasar untuk diterimanya amal perbuatan disisi Allah.
  2. Perintah untuk berjihad di jalan Allah.  Sebab jihad merupakan perbuatan yang paling baik setelah beriman kepada Allah, dan menginfakan harta benda smapai kepada nyawa. Sebab pahala itu akan diberikan sesuai yang telah dilakukan dan pahal itu sesuai dengan kepayahan/kesulitan saat melakukannya.
  3. perintah untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan dalam melakukan suatu perbuatan yang tidak sanggup untuk dilakukannya. Seperti menolong seorang miskin untuk menutup kemiskinannya, karena orang selainnya sangat mungkin untuk ditolong.